Minggu, 13 November 2011

Kesetiakawanan


KESETIAKAWANAN 

            Kata kesetiakawanan sudah sangat familiar di telinga kita. Dia merupakan salah satu nilai-nilai luhur bangsa yang harus dilestarikan. Kata ini oleh Undang-undang nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan sosial dijadikan sebagai asas pertama dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Sebagai asas dia menjadi pondasi atau landasan pokok dalam membangun kesejahteraan sosial di Indonesia. Walaupun sudah sangat familiar, tapi fenomena yang terjadi di masyarakat menunjukkan bahwa pengertian dan emplementasinya belum terlaksana sebagaimana yang diharapkan, seperti masih terjadinya bentrok antar warga, tawuran antar pelajar dan mahasiswa, adanya kasus pembagian zakat yang menimbulkan korban dan lain sebagainya.

        Dalam undang-undang nomor 11 tahun 2009, kata kesetiakawanan dideskripsikan sebagai suatu kepedulian sosial untuk membantu orang lain yang membutuhkan pertolongan dengan empati dan kasih sayang (tat twam asi). Deskripsi yuridis ini masih perlu dijabarkan lagi dengan jelas agar bisa diemplementasikan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Karena masih ada empat istilah yang terkandung dalam pengertian kesetiakawanan yakni kepedulian sosial, empati,kasihsayang,dan tat twam asi(?).

        Dari rumusan undang-undang dapat dikatakan bahwa kesetiakawanan bertingkat-tingkat. Berawal dari kepedulian sosial yakni sikap memperhatikan (memprihatinkan) kondisi lingkungannya, kemudian menjadi emepati yakni kesanggupan meneliti kesulitan orang lain, meningkat menjadi kasih sayang, puncaknya adalah tat twam asi. Empati merupakan salah satu aspek kasih sayang. Kasih sayang sesungguhnya mengandung atau mempunyai formula tiga sehat empat sempurna, tiga sehat dimaksud adalah bahwa kasih saying yang sehat harus secara komprehensif berisi tiga nilai. Yakni pertama, memberi tak harap kembali sebagaimana yang telah lama disosialisasikan oleh para guru TK dalam lagu Kasih Ibu. Kedua, kasih sayang adalah memberi apa yang dibutuhkan, bukan menuruti keinginan. Di sinilah empati bekerja untuk menemukan kebutuhan yang sesungguhnya. Ketiga, kasih sayang haruslah menjunjung kesetaraan terbebas dari sikap superior dan inferior. Artinya, jangan samoai yang memberi merasa superior, dan yang diberi dianggap inferior. Dalam pembagian zakat misalnya, pemberi zakat tidak boleh merasa superior, dan yang diberi zakat dianggap inferior. Apalagi kalau direnungkan, zakat yang diberikan pada hakekatnya adalah merupakan hak orang miskin. Artinya harta orang miskin yang dititipkan kepada orang kaya. Jadi sebenarnya bukan memberi tapi menyerahkan. Karena itu, perlakuannya harus santun. Apabila ketiga aspek itu tersebut di atas tidak terpenuhi, maka kasih saying itu sakit atau terciderai. Ketiganya merupakan suatu kesatuan yang harus dipenuhi. Kasih sayang menjadi sempurna ketika kita mampu memberikan apa yang kita senangi, sebagaimana yang ditandaskan dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 92 : “ Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan ( yang sempurna, sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahui”. Puncak dari kasih saying adalah tat twam asi, yang arti harfiahnya adalah “ engkau adalah aku/aku adalah engkau”. Kata ini sebenarnya bisa diterjemahkan secara filosofis, sosiologis, psikologis, dan kesetiakawanan2spiritual.

      Secara filosofis, kata ini mengungkapkan adanya hukum keseimbangan (pasangan) yang ditetapkan oleh Tuhan yang Maha Kuasa. Dalam Al-Qur’an surat Yaasin ayat 36 ditandaskan : “ Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.”

      Di antara pasangan yang sangat dahsyat yang diciptakan oleh Tuhan adalah apa yang disebut dengan sentripetal (gaya tarik) dan sentrifugal (daya tolak). Jagad alam raya ini dipelihara oleh Tuhan kelestarianny a dengan cara menyeimbangkan antara kedua gaya tersebut. Coba bayangkan saja, seandainya hanya ada gaya sentripetal di alam raya ini, maka planet-planet akan saling menarik atau bertabrakan (blurr!). sebaliknya, jika hanya ada sentrifugal maka planet-planet itu akan saling menolak atau semburat, entah ke mana. Tetapi karena Allah telah menjadikan kedua gaya itu seimbang, maka planet-planet itu bergerak teraur pada garis edarnya. Sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur’an surat Yunus ayat kelima : “ Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan denan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (Kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.”

      Sepertinya pada hari Kiamat nanti keseimbangan itu dicabut oleh Allah, sebagaimana digambarkan dalam Al Quran, surat Al Qori’ah: “Hari Kiamat.Apakah hari kiamat itu. Tahukah kamu apakah hari kiamat itu? Pada hari itu manusia seperti anai-anai yang bertebaran. Dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan. Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikannya) maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Dan tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu?. (Yaitu) api yang sangat panas.

      Analogi dangan gambaran di atas adalah apa yang ada pada diri manusia. Pada diri manusia ada pasangan bak sekeping mata uang yang terdiri atas dua sisi, yakni diri sebagai Pribadi dan diri sebagai anggota masyarakat. Diri sebagai pribadi banyak didominasi oleh gaya sentrigugal, sedangkan diri sebagai anggota masyarakat banyak didominasi oleh gaya sentripetal. Eksistensi manusia terletak pada kemampuannya menyeimbangkan kedua peran ini. Manusia yang hanya mementingkan diri pribadi akan menjadi egois, keras kepala, kikir, dsb, dan tanpa disadarinya dia telah tertelan oleh kehidupannya sendiri sehingga eksistensi dirinya lenyap. Sebalkinya, manusia yang hanya terbawa sebagai anggota masyarakat, dia tidak punya jati diri dan akan lenyap terbawa arus gelombang masyarakat. Narasi H.N. Casson kiranya memperjelas gambaran diatas: “ Kalau saya hidup tidak untuk diri sendiri, siapa yang akan menghidupi saya, tetapi kalau saya hidup hanya untuk diri sendiri maka siapakah saya?

     Secara sosiologis Tat Twam Asi merepresentasikan makna: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi yang lain.” (Hadits). Secara psikologis Tat Twam Asi menjanjikan suatu kebahagiaan yang sejati, yakni kebahagiaan yang diperoleh ketika kita mampu membahagiakan orang lain. Secara spiritual, Tat Twam Asi adalah implementasi dari sabda Nabi: “ Belumlah beriman di antara kamu, sehingga mampu mencitai orang lain sebagaimana mencintai diri sendiri. Tidaklah berlebihan kiranya kalau Tat Twam Asi dikatakan sebagai puncak dari kasih saying. Karena itu, Tat Twam Asi seyogianya digelorakan sebagai visi dan sekaligus semboyan atau motto penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Salam /MDR
Bencana alam yang belakangan ini terjadi, seperti banjir Wasior, tsunami Mentawai, serta meletusnya Gunung Merapi, bagaikan mimpi buruk yang bertubi-tubi mengguncang negeri kita tercinta. Korban jiwa yang tak sedikit ditambah lagi dengan harta benda masyarakat yang hilang tak bersisa memberikan gambaran yang menghenyakkan hati bagi siapa saja yang melihatnya.

Tidak mengherankan bila setelah kejadian-kejadian tersebut banyak masyarakat lainnya yang segera memberikan pertolongan bagi para korban. Tidak sedikit yang menyumbangkan uang, makanan, pakaian, barang kebutuhan sehari-hari, bahkan juga terjun langsung ke lapangan untuk menyumbangkan tenaga mereka.

Walaupun bencana terus-menerus menghantam bumi pertiwi, dari sinilah kita bisa menyadari bahwa kesetiakawanan sosial masyarakat Indonesia masih ada dan tidak pernah luntur dari nilai-nilai budaya kita. Walaupun terkadang manusia-manusia seakan-akan telah tenggelam dalam individualitas, tapi bagaimana pun juga manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan manusia lainnya untuk dapat bertahan hidup. Begitu pula dengan bangsa ini yang sedang dilanda bencana. Ini adalah suatu bukti nyata bahwa hati nurani masih ada, yang namanya kesetiakawanan itu masih ada.

A. Pengertian Kesetakawanan Islam
Kesetiakawanan kata dasarnya setia dan kawan. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, Setia artinya Patuh, Taat, Tetap dan Teguh Hati. Dan Kawan artinya Teman, Sahabat, Pengikat. Setiakawan artinya perasaan bersatu, sependapat dan sekepentingan dalam persahabatan.
Arti Kesetiakawanaan dalam Islam yaitu perasaan bersatu dalam persahabatan sesama manusia, istilah persahabatan dalam Islam biasa disebut Ukhuwah Islamiyah.
Firman Allah SWT :
“ Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudara.” (QS.Al-Hujarat : 10)
“ Dan perpeganglah kamu semuanya kepada tali agama Allah, dan janganlah kamu bercerai berai dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah menjinakan antara hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudar, dan kamu telah berada di tepi jurang nerak, lalu Allah menyelamatkan kamu dari pada-Nya, demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada mu agar kamu mendapat petunjuk.” ( QS. Ali Imron : 103)
“ Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal dan mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu, sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.” (QS. Al-Hujarat: 13)
Ayat-ayat tersebut diatas memberi petunjuk kepada kita bahwa kesetiakawanaan merupakan salah satu ajaran islam yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena pada dasarnya manusia itu adalah mahluk sosial sekaligus mahluk individu.
B. Peranan Kesetiakawanan Sosial
Setiap manusia menginginkan terpenuhinya kebutuhan hidup, baik berupa materi seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, kendaraan dan sebagainya. Maupun non materi seperti : hiburan, ketenangan, keamanaan bahkan mungkin penghargaan dari orang lain.
Demikianlah seterusnya, tidak pernah berhenti dan merasa puas. Demikian itu adalah sifat wajar karena manusia mempunyai nafsu. Yang perlu diperhatikan adalah cara memperoleh harta benda itu, jangan sampai dengan cara haram, merugikan orang lain bahkan mengorbankan orang lain. Kemudian cara memanfaatkan harta benda itu dengan cara yang benar dan halal, maka usaha itu perlu diteruskan. Jika sebaliknya maka harus dihentikan. Jika usaha itu berhasil manusia wajib bersyukur, karena rejeki itu telah Allah SWT berikan kepadanya.
Namun perlu disadari bahwa rejeki hasil kerja keras yang berupa harta benda itu diperoleh dengan sebab adanya keterlibatan atau bantuan orang lain. Salah satu bentuk kesetiakawanan sosial itu dengan memberikan sebagian hartanya kepada orang lain sebagai perwujudan kasih sayang kepada semua manuasia. Oleh karena itu harta yang diperoleh itu didalamnya sebagian ada hak orang lain, untuk dikeluarkan (diberikan) dalam bentuk zakat mal / harta untuk infak, sedekah, jariyah dan lainnya.
Firman Allah SWT:
“ (Yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka.” ( QS.Al-Baqarah :3)
“ Dan tolong menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa dan janganlah kamu tolong menolong dalam berbuat dosa pelanggaran.” ( QS. Al-Maidah : 2)
Rasulullah SAW bersabda :
“ Dan barang siapa memberikan jalan keluar kepada sesama muslim dari problem hidup, maka Allah akan berikan jalan keluar baginya dari kesulitan dihari kiamat.” ( HR. Bukhari dan Muslim)
 Keserasian hubungan manusia dengan penciptanya harus selalu diwujudkan. Islam meyakinkan kepada manusia bahwa segala sesuatu yang ada di bumi ini adalah milik dan ciptaan Allah SWT. Maka manusia akan bersedia dan penuh keihlasan melaksanakan tugas yang diperintahkan Allah SWT kepadanya dan dengan penuh keihlasan pula menjauhi larangan-Nya.
   Memang jika dipandang sepintas lalu, semua perintah Allah SWT adalah merupakan beban yang berat dan semua larangan-Nya merupakan penghalang manusia untuk menikmati kelezatan dunia secara bebas. Anggapan manusia tersebut dimungkinkan oleh karena keterbatasan pengetahuan manusia, sehingga mereka tidak mengetahui bahwa perintah yang mereka anggap beban dan larangan yang mereka anggap penghalang itu sebenarnya cermin rahmat Allah SWT pada manusia.
Firman Allah SWT :
“ Boleh jadi kamu benci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu.” ( QS, Al-Baqarah : 216)
Kehidupan ini tak selamanya sejalan dengan apa yang diinginkan oleh manusia. Suatu ketika manusia menderita sakit, mengalami sesuatu yang menakutkan, dan pada saat yang lain mendapatkan kegembiraan dan kesenangan. Kejadian yang demikian menunjukkan bahwa manusia memerlukan pelindung, memerlukan tempat memohon dan memerlukan tempat berterima kasih, manusia sangat tergantung kepada manusia lainnya .
Oleh karena itu hubungan antar manusia perlu diatur, agar tidak terjadi benturan-benturan yang tidak diinginkan. Islam telah memberi tuntutan dalam hal-hal yang berkaitan dengan kesetiakawanan sosial. Islam mencanangkan kehidupan yang harus lebih mengutamakan kepentingan bersama dari pada kepentingan diri sendiri sebagaimana yang telah di contohkn oleh Rasulullah SAW. Beliau telah mampu menciptakan hubungan harmonis antar kaum Muhajirin dan kaum Anshor.
Firman Allah SWT :
“ Dan mereka mengutamakan orang-orang muhajirin atas diri mereka dalam kesusahan.” (QS.Al-Hasyr : 29)
Dalam upaya menanamkan kesetiakawanan sosial kita perlu membiasakan diri menginfakan atau memberikan sebagian rezeki yang kita peroleh, sekalipun rezeki itu dirasakan sedikit. Kemudian memberikan santunan kepada fakir miskin, kaum tua/ jompo, mengangkat anak asuh, memberikan bantuan kepada orang yang sedang menuntut ilmu dan sebagainya.
C. Peran kesetiakawanan dalam hidup bermasyarakat.
1. Dapat menumbuhkan persaudaraan
2. Menciptakan kerukunan hidup bermasyarakat
3. Dapat menggalang persatuan dan kesatuan
4. Kehidupan yang aman dan tentaram
5. Terwujudnya kehidupan yang sejahtera
6. Memperkokoh persatuan seagama dalam kalangan umat Islam.

Sumber: http://chyntiameliza.blogspot.com/2011/11/kesetiakawanan.html

Sabtu, 22 Oktober 2011

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI


Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi di Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Saat ini KPK dipimpin bersama oleh 4 orang wakil ketuanya, yakni Chandra Marta Hamzah, Bibit Samad Rianto, Mochammad Jasin, dan Hayono Umar, setelah Perpu Plt. KPK ditolak oleh DPR. Pada 25 November, M. Busyro Muqoddas terpilih menjadi ketua KPK setelah melalui proses pemungutan suara oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

SEJARAH LEMBAGA KPK
Orde Lama
Kabinet Djuanda
Di masa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin pertanggungjawaban secara langsung kepada Presiden, formulir itu tidak diserahkan kepada Paran, tapi langsung kepada Presiden. Diimbuhi dengan kekacauan politik, Paran berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda.

Operasi Budhi
Pada 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagaiMenteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kasab, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.
Lagi-lagi alasan politis menyebabkan kemandekan, seperti Direktur Utama Pertamina yang tugas ke luar negeri dan direksi lainnya menolak karena belum ada surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektivitas lembaga ini. Operasi ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan negara kurang-lebih Rp 11 miliar. Operasi Budhi ini dihentikan dengan pengumuman pembubarannya olehSoebandrio kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Bohari pada tahun 2001 mencatatkan bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan korupsi di masa Orde Lama pun kembali masuk ke jalur lambat, bahkan macet.

Orde Baru
Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.
Empat tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina, misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagaiPangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down di kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.

Era Reformasi
Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya,Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.[1]

KPK di bawah Taufiequrachman Ruki (2003-2007)
Pada tanggal 16 Desember 2003, Taufiequrachman Ruki, seorang alumni Akademi Kepolisian (Akpol) 1971, dilantik menjadi Ketua KPK. Di bawah kepemimpinan Taufiequrachman Ruki, KPK hendak memposisikan dirinya sebagai katalisator (pemicu) bagi aparat dan institusi lain untuk terciptanya jalannya sebuah "good and clean governance" (pemerintahan baik dan bersih) di Republik Indonesia. Sebagai seorang mantan Anggota DPR RI dari tahun 1992 sampai 2001, Taufiequrachman walaupun konsisten mendapat kritik dari berbagai pihak tentang dugaan tebang pilih pemberantasan korupsi.
Menurut Taufiequrachman Ruki, pemberantasan korupsi tidak hanya mengenai bagaimana menangkap dan memidanakan pelaku tindak pidana korupsi, tapi juga bagaimana mencegah tindak pidana korupsi agar tidak terulang pada masa yang akan datang melalui pendidikan antikorupsi, kampanye antikorupsi dan adanya contoh "island of integrity" (daerah contoh yang bebas korupsi).
Pernyataan Taufiequrachman mengacu pada definisi korupsi yang dinyatakan dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Menurutnya, tindakan preventif (pencegahan) dan represif (pengekangan) ini dilakukan dengan "memposisikan KPK sebagai katalisator (trigger) bagi aparat atau institusi lain agar tercipta good and clean governance dengan pilar utama transparansi, partisipasi dan akuntabilitas".
Taufiequrachman mengemukakan data hasil survei Transparency Internasional mengenai penilaian masyarakat bisnis dunia terhadap pelayanan publik di Indonesia. Hasil survei itu memberikan nilai IPK (Indeks Persepsi Korupsi) sebesar 2,2 kepada Indonesia. Nilai tersebut menempatkan Indonesia pada urutan 137 dari 159 negara tersurvei. Survei Transparency International Indonesia berkesimpulan bahwa lembaga yang harus dibersihkan menurut responden, adalah: lembaga peradilan (27%), perpajakan (17%), kepolisian (11%), DPRD (10%), kementerian/departemen (9%), bea dan cukai (7%), BUMN (5%), lembaga pendidikan (4%), perijinan (3%), dan pekerjaan umum (2%).
Lebih lanjut disampaikan, survei terbaru Transparency International yaitu "Barometer Korupsi Global", menempatkan partai politik di Indonesia sebagai institusi terkorup dengan nilai 4,2 (dengan rentang penilaian 1-5, 5 untuk yang terkorup). Masih berangkat dari data tersebut, di Asia, Indonesia menduduki prestasi sebagai negara terkorup dengan skor 9.25 (terkorup 10) di atas India (8,9), Vietnam (8,67),Filipina (8,33) dan Thailand (7,33).
Dengan adanya data tersebut, terukur bahwa keberadaan korupsi di Indonesia telah membudaya baik secara sistemik dan endemik. Maka Taufiequrachman berasumsi bahwa kunci utama dalam pemberantasan korupsi adalah integritas yang akan mencegah manusia dari perbuatan tercela, entah itu "corruption by needs" (korupsi karena kebutuhan), "corruption by greeds" (korupsi karena keserakahan) atau "corruption by opportunities" (korupsi karena kesempatan). Taufiequrachman juga menyampaikan bahwa pembudayaan etika dan integritas antikorupsi harus melalui proses yang tidak mudah, sehingga dibutuhkan adanya peran pemimpin sebagai teladan dengan melibatkan institusi keluarga, pemerintah, organisasi masyarakat dan organisasi bisnis.
Pada tahun 2007 Taufiequrachman Ruki digantikan oleh Antasari Azhar sebagai Ketua KPK

KPK di bawah Antasari Azhar (2007-2009)



Kontroversi Antasari Azhar saat menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (2000-2007)yang gagal mengeksekusi Tommy Soeharto tidak menghalangi pengangkatannya menjadi Ketua KPK setelah berhasil mengungguli calon lainnya yaitu Chandra M. Hamzahdengan memperoleh 41 suara dalam pemungutan suara yang dilangsungkan Komisi III DPR. Kiprahnya sebagai Ketua KPK antara lain menangkap Jaksa Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani dalam kaitan penyuapan kasus BLBI Syamsul Nursalim. Kemudian juga penangkapan Al Amin Nur Nasution dalam kasus persetujuan pelepasan kawasan Hutan lindung Tanjung Pantai Air Telang, Sumatera Selatan. Statusnya sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 4 Mei 2009 memberhentikan dari jabatannya sebagai ketua KPK.

Minggu, 02 Oktober 2011

Definiton of Basic Social Science

Definition of Basic Social Science or Ilmu Sosial Dasar (ISD) is a science that examines social problems that arise and develop, especially those embodied by the citizens of Indonesia by using terms (facts, concepts, theories) that come from different fields of expertise knowledge in the field sciences social. So, Basic Social Science is  combination of social sciences are in use in approach and solving social problems that arise in the society.

Background of the Basic Social Science:
The amount of criticism directed at the higher education system by several scholarsOur educational system into something that elite for our own society, so people are less familiar with the environment.

Three Types of Ability:
Personal Ability (Personal Capacity) can demonstrate the attitude and personality of the Indonesian nation, know and understand the values ​​of religious, community, state and broad view of Society Academic Ability. The ability to communicate scientifically, both orally and in writing, mastering equipment analysis, logical thinking, critical, systematic, analytical.    Professional Ability. Ability in the field of professional expertise is concerned. Experts are expected to have a high knowledge.

Purpose of Basic Social Science. Understand and recognize the social realities and social problems that exist in society. Assisting the development of insight into the thoughts and personality of the citizens of Indonesia to gain insights into the broadest sense. Citizens of Indonesia have the attitude and good behavior in society. Understanding the mindset of experts from other fields of science and can communicate with them. Sensitive to social issues and responsive to participate in overcoming business.

The Scope of Basic Social Science Material Basis of Social Sciences, made ​​up of social problemsTo be able to explore social issues, first, we can identify the social realities and understand a number of certain social concepts. Consortium Intergovernmental Affairs has determined that the Basic Social Sciences lecture consists of 8 (eight) subjectsThe content of 8 (eight) subjects. A variety of population problems in relation to the development of society and cultureIndividual problems, families and communitiesYouth problems and socialization. Problem of the relationship between citizen and stateProblems coatings the social and equality. Problem of urban and rural communitiesThe problem of social conflicts and integrationUtilization of science and technology for prosperity and welfare of the community.