Minggu, 13 November 2011

Kesetiakawanan


KESETIAKAWANAN 

            Kata kesetiakawanan sudah sangat familiar di telinga kita. Dia merupakan salah satu nilai-nilai luhur bangsa yang harus dilestarikan. Kata ini oleh Undang-undang nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan sosial dijadikan sebagai asas pertama dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Sebagai asas dia menjadi pondasi atau landasan pokok dalam membangun kesejahteraan sosial di Indonesia. Walaupun sudah sangat familiar, tapi fenomena yang terjadi di masyarakat menunjukkan bahwa pengertian dan emplementasinya belum terlaksana sebagaimana yang diharapkan, seperti masih terjadinya bentrok antar warga, tawuran antar pelajar dan mahasiswa, adanya kasus pembagian zakat yang menimbulkan korban dan lain sebagainya.

        Dalam undang-undang nomor 11 tahun 2009, kata kesetiakawanan dideskripsikan sebagai suatu kepedulian sosial untuk membantu orang lain yang membutuhkan pertolongan dengan empati dan kasih sayang (tat twam asi). Deskripsi yuridis ini masih perlu dijabarkan lagi dengan jelas agar bisa diemplementasikan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Karena masih ada empat istilah yang terkandung dalam pengertian kesetiakawanan yakni kepedulian sosial, empati,kasihsayang,dan tat twam asi(?).

        Dari rumusan undang-undang dapat dikatakan bahwa kesetiakawanan bertingkat-tingkat. Berawal dari kepedulian sosial yakni sikap memperhatikan (memprihatinkan) kondisi lingkungannya, kemudian menjadi emepati yakni kesanggupan meneliti kesulitan orang lain, meningkat menjadi kasih sayang, puncaknya adalah tat twam asi. Empati merupakan salah satu aspek kasih sayang. Kasih sayang sesungguhnya mengandung atau mempunyai formula tiga sehat empat sempurna, tiga sehat dimaksud adalah bahwa kasih saying yang sehat harus secara komprehensif berisi tiga nilai. Yakni pertama, memberi tak harap kembali sebagaimana yang telah lama disosialisasikan oleh para guru TK dalam lagu Kasih Ibu. Kedua, kasih sayang adalah memberi apa yang dibutuhkan, bukan menuruti keinginan. Di sinilah empati bekerja untuk menemukan kebutuhan yang sesungguhnya. Ketiga, kasih sayang haruslah menjunjung kesetaraan terbebas dari sikap superior dan inferior. Artinya, jangan samoai yang memberi merasa superior, dan yang diberi dianggap inferior. Dalam pembagian zakat misalnya, pemberi zakat tidak boleh merasa superior, dan yang diberi zakat dianggap inferior. Apalagi kalau direnungkan, zakat yang diberikan pada hakekatnya adalah merupakan hak orang miskin. Artinya harta orang miskin yang dititipkan kepada orang kaya. Jadi sebenarnya bukan memberi tapi menyerahkan. Karena itu, perlakuannya harus santun. Apabila ketiga aspek itu tersebut di atas tidak terpenuhi, maka kasih saying itu sakit atau terciderai. Ketiganya merupakan suatu kesatuan yang harus dipenuhi. Kasih sayang menjadi sempurna ketika kita mampu memberikan apa yang kita senangi, sebagaimana yang ditandaskan dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 92 : “ Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan ( yang sempurna, sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahui”. Puncak dari kasih saying adalah tat twam asi, yang arti harfiahnya adalah “ engkau adalah aku/aku adalah engkau”. Kata ini sebenarnya bisa diterjemahkan secara filosofis, sosiologis, psikologis, dan kesetiakawanan2spiritual.

      Secara filosofis, kata ini mengungkapkan adanya hukum keseimbangan (pasangan) yang ditetapkan oleh Tuhan yang Maha Kuasa. Dalam Al-Qur’an surat Yaasin ayat 36 ditandaskan : “ Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.”

      Di antara pasangan yang sangat dahsyat yang diciptakan oleh Tuhan adalah apa yang disebut dengan sentripetal (gaya tarik) dan sentrifugal (daya tolak). Jagad alam raya ini dipelihara oleh Tuhan kelestarianny a dengan cara menyeimbangkan antara kedua gaya tersebut. Coba bayangkan saja, seandainya hanya ada gaya sentripetal di alam raya ini, maka planet-planet akan saling menarik atau bertabrakan (blurr!). sebaliknya, jika hanya ada sentrifugal maka planet-planet itu akan saling menolak atau semburat, entah ke mana. Tetapi karena Allah telah menjadikan kedua gaya itu seimbang, maka planet-planet itu bergerak teraur pada garis edarnya. Sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur’an surat Yunus ayat kelima : “ Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan denan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (Kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.”

      Sepertinya pada hari Kiamat nanti keseimbangan itu dicabut oleh Allah, sebagaimana digambarkan dalam Al Quran, surat Al Qori’ah: “Hari Kiamat.Apakah hari kiamat itu. Tahukah kamu apakah hari kiamat itu? Pada hari itu manusia seperti anai-anai yang bertebaran. Dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan. Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikannya) maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Dan tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu?. (Yaitu) api yang sangat panas.

      Analogi dangan gambaran di atas adalah apa yang ada pada diri manusia. Pada diri manusia ada pasangan bak sekeping mata uang yang terdiri atas dua sisi, yakni diri sebagai Pribadi dan diri sebagai anggota masyarakat. Diri sebagai pribadi banyak didominasi oleh gaya sentrigugal, sedangkan diri sebagai anggota masyarakat banyak didominasi oleh gaya sentripetal. Eksistensi manusia terletak pada kemampuannya menyeimbangkan kedua peran ini. Manusia yang hanya mementingkan diri pribadi akan menjadi egois, keras kepala, kikir, dsb, dan tanpa disadarinya dia telah tertelan oleh kehidupannya sendiri sehingga eksistensi dirinya lenyap. Sebalkinya, manusia yang hanya terbawa sebagai anggota masyarakat, dia tidak punya jati diri dan akan lenyap terbawa arus gelombang masyarakat. Narasi H.N. Casson kiranya memperjelas gambaran diatas: “ Kalau saya hidup tidak untuk diri sendiri, siapa yang akan menghidupi saya, tetapi kalau saya hidup hanya untuk diri sendiri maka siapakah saya?

     Secara sosiologis Tat Twam Asi merepresentasikan makna: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi yang lain.” (Hadits). Secara psikologis Tat Twam Asi menjanjikan suatu kebahagiaan yang sejati, yakni kebahagiaan yang diperoleh ketika kita mampu membahagiakan orang lain. Secara spiritual, Tat Twam Asi adalah implementasi dari sabda Nabi: “ Belumlah beriman di antara kamu, sehingga mampu mencitai orang lain sebagaimana mencintai diri sendiri. Tidaklah berlebihan kiranya kalau Tat Twam Asi dikatakan sebagai puncak dari kasih saying. Karena itu, Tat Twam Asi seyogianya digelorakan sebagai visi dan sekaligus semboyan atau motto penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Salam /MDR
Bencana alam yang belakangan ini terjadi, seperti banjir Wasior, tsunami Mentawai, serta meletusnya Gunung Merapi, bagaikan mimpi buruk yang bertubi-tubi mengguncang negeri kita tercinta. Korban jiwa yang tak sedikit ditambah lagi dengan harta benda masyarakat yang hilang tak bersisa memberikan gambaran yang menghenyakkan hati bagi siapa saja yang melihatnya.

Tidak mengherankan bila setelah kejadian-kejadian tersebut banyak masyarakat lainnya yang segera memberikan pertolongan bagi para korban. Tidak sedikit yang menyumbangkan uang, makanan, pakaian, barang kebutuhan sehari-hari, bahkan juga terjun langsung ke lapangan untuk menyumbangkan tenaga mereka.

Walaupun bencana terus-menerus menghantam bumi pertiwi, dari sinilah kita bisa menyadari bahwa kesetiakawanan sosial masyarakat Indonesia masih ada dan tidak pernah luntur dari nilai-nilai budaya kita. Walaupun terkadang manusia-manusia seakan-akan telah tenggelam dalam individualitas, tapi bagaimana pun juga manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan manusia lainnya untuk dapat bertahan hidup. Begitu pula dengan bangsa ini yang sedang dilanda bencana. Ini adalah suatu bukti nyata bahwa hati nurani masih ada, yang namanya kesetiakawanan itu masih ada.

A. Pengertian Kesetakawanan Islam
Kesetiakawanan kata dasarnya setia dan kawan. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, Setia artinya Patuh, Taat, Tetap dan Teguh Hati. Dan Kawan artinya Teman, Sahabat, Pengikat. Setiakawan artinya perasaan bersatu, sependapat dan sekepentingan dalam persahabatan.
Arti Kesetiakawanaan dalam Islam yaitu perasaan bersatu dalam persahabatan sesama manusia, istilah persahabatan dalam Islam biasa disebut Ukhuwah Islamiyah.
Firman Allah SWT :
“ Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudara.” (QS.Al-Hujarat : 10)
“ Dan perpeganglah kamu semuanya kepada tali agama Allah, dan janganlah kamu bercerai berai dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah menjinakan antara hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudar, dan kamu telah berada di tepi jurang nerak, lalu Allah menyelamatkan kamu dari pada-Nya, demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada mu agar kamu mendapat petunjuk.” ( QS. Ali Imron : 103)
“ Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal dan mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu, sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.” (QS. Al-Hujarat: 13)
Ayat-ayat tersebut diatas memberi petunjuk kepada kita bahwa kesetiakawanaan merupakan salah satu ajaran islam yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena pada dasarnya manusia itu adalah mahluk sosial sekaligus mahluk individu.
B. Peranan Kesetiakawanan Sosial
Setiap manusia menginginkan terpenuhinya kebutuhan hidup, baik berupa materi seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, kendaraan dan sebagainya. Maupun non materi seperti : hiburan, ketenangan, keamanaan bahkan mungkin penghargaan dari orang lain.
Demikianlah seterusnya, tidak pernah berhenti dan merasa puas. Demikian itu adalah sifat wajar karena manusia mempunyai nafsu. Yang perlu diperhatikan adalah cara memperoleh harta benda itu, jangan sampai dengan cara haram, merugikan orang lain bahkan mengorbankan orang lain. Kemudian cara memanfaatkan harta benda itu dengan cara yang benar dan halal, maka usaha itu perlu diteruskan. Jika sebaliknya maka harus dihentikan. Jika usaha itu berhasil manusia wajib bersyukur, karena rejeki itu telah Allah SWT berikan kepadanya.
Namun perlu disadari bahwa rejeki hasil kerja keras yang berupa harta benda itu diperoleh dengan sebab adanya keterlibatan atau bantuan orang lain. Salah satu bentuk kesetiakawanan sosial itu dengan memberikan sebagian hartanya kepada orang lain sebagai perwujudan kasih sayang kepada semua manuasia. Oleh karena itu harta yang diperoleh itu didalamnya sebagian ada hak orang lain, untuk dikeluarkan (diberikan) dalam bentuk zakat mal / harta untuk infak, sedekah, jariyah dan lainnya.
Firman Allah SWT:
“ (Yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka.” ( QS.Al-Baqarah :3)
“ Dan tolong menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa dan janganlah kamu tolong menolong dalam berbuat dosa pelanggaran.” ( QS. Al-Maidah : 2)
Rasulullah SAW bersabda :
“ Dan barang siapa memberikan jalan keluar kepada sesama muslim dari problem hidup, maka Allah akan berikan jalan keluar baginya dari kesulitan dihari kiamat.” ( HR. Bukhari dan Muslim)
 Keserasian hubungan manusia dengan penciptanya harus selalu diwujudkan. Islam meyakinkan kepada manusia bahwa segala sesuatu yang ada di bumi ini adalah milik dan ciptaan Allah SWT. Maka manusia akan bersedia dan penuh keihlasan melaksanakan tugas yang diperintahkan Allah SWT kepadanya dan dengan penuh keihlasan pula menjauhi larangan-Nya.
   Memang jika dipandang sepintas lalu, semua perintah Allah SWT adalah merupakan beban yang berat dan semua larangan-Nya merupakan penghalang manusia untuk menikmati kelezatan dunia secara bebas. Anggapan manusia tersebut dimungkinkan oleh karena keterbatasan pengetahuan manusia, sehingga mereka tidak mengetahui bahwa perintah yang mereka anggap beban dan larangan yang mereka anggap penghalang itu sebenarnya cermin rahmat Allah SWT pada manusia.
Firman Allah SWT :
“ Boleh jadi kamu benci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu.” ( QS, Al-Baqarah : 216)
Kehidupan ini tak selamanya sejalan dengan apa yang diinginkan oleh manusia. Suatu ketika manusia menderita sakit, mengalami sesuatu yang menakutkan, dan pada saat yang lain mendapatkan kegembiraan dan kesenangan. Kejadian yang demikian menunjukkan bahwa manusia memerlukan pelindung, memerlukan tempat memohon dan memerlukan tempat berterima kasih, manusia sangat tergantung kepada manusia lainnya .
Oleh karena itu hubungan antar manusia perlu diatur, agar tidak terjadi benturan-benturan yang tidak diinginkan. Islam telah memberi tuntutan dalam hal-hal yang berkaitan dengan kesetiakawanan sosial. Islam mencanangkan kehidupan yang harus lebih mengutamakan kepentingan bersama dari pada kepentingan diri sendiri sebagaimana yang telah di contohkn oleh Rasulullah SAW. Beliau telah mampu menciptakan hubungan harmonis antar kaum Muhajirin dan kaum Anshor.
Firman Allah SWT :
“ Dan mereka mengutamakan orang-orang muhajirin atas diri mereka dalam kesusahan.” (QS.Al-Hasyr : 29)
Dalam upaya menanamkan kesetiakawanan sosial kita perlu membiasakan diri menginfakan atau memberikan sebagian rezeki yang kita peroleh, sekalipun rezeki itu dirasakan sedikit. Kemudian memberikan santunan kepada fakir miskin, kaum tua/ jompo, mengangkat anak asuh, memberikan bantuan kepada orang yang sedang menuntut ilmu dan sebagainya.
C. Peran kesetiakawanan dalam hidup bermasyarakat.
1. Dapat menumbuhkan persaudaraan
2. Menciptakan kerukunan hidup bermasyarakat
3. Dapat menggalang persatuan dan kesatuan
4. Kehidupan yang aman dan tentaram
5. Terwujudnya kehidupan yang sejahtera
6. Memperkokoh persatuan seagama dalam kalangan umat Islam.

Sumber: http://chyntiameliza.blogspot.com/2011/11/kesetiakawanan.html